Jumat, 19 Januari 2018

TALAK 3

Wa’laikum salam wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dalam kehidupan rumah tangga perselisihan antara suami-isteri merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Ini merupakan hal biasa dalam kehidupan rumah tangga. Namun acapkali di tengah-tengan perselisihan itu muncul kemarahan yang sangat luar biasa, sehingga tanpa sadar terucap kata talak dari pihak suami.
Sedang mengenai jatuh apa tidaknya talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah, para ulama terjadi perselisihan pendapat. Namun dalam kasus ini ada yang menarik dari penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama pengikut madzhab hanbali.
Pertama-tama yang dilakukan beliau sebelum menetapkan sah atau tidaknya talak dalam kondisi marah. Beliau terlebih dahulu membagi bentuk kemarahan. Setidaknya ada tiga klasifikasi atau level kemarahan. Level pertama, kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. Artinya, pihak yang marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam kondisi tersebut. Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap kata talak maka talaknya sah atau jatuh.
Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa yang dikehendaki. Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak sah atau jatuh. Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.
Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara kemarahan pada level pertama dan kedua. Kemaran pada level tidak menjadikan seseorang seperti orang yang gila. Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak tersebut tidak sah atau tidak jatuh.
ﻗُﻠْﺖُ : ﻭَﻟِﻠْﺤَﺎﻓِﻆِ ﺍﺑْﻦِ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻢِ ﺍﻟْﺤَﻨْﺒَﻠِﻲِّ ﺭِﺳَﺎﻟَﺔٌ ﻓِﻲ ﻃَﻠَﺎﻕِ ﺍﻟْﻐَﻀْﺒَﺎﻥِ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ : ﺇﻧَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﻗْﺴَﺎﻡٍ : ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺤْﺼُﻞَ ﻟَﻪُ ﻣَﺒَﺎﺩِﺉُ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐِ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮُ ﻋَﻘْﻠُﻪُ ﻭَﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻭَﻳَﻘْﺼِﺪُﻩُ ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻟَﺎ ﺇﺷْﻜَﺎﻝَ ﻓِﻴﻪِ . ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲ ﺃَﻥْ ﻳَﺒْﻠُﻎَ ﺍﻟﻨِّﻬَﺎﻳَﺔَ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُﻩُ ، ﻓَﻬَﺬَﺍ ﻟَﺎ ﺭَﻳْﺐَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔُﺬُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻗْﻮَﺍﻟِﻪِ . ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ﻣَﻦْ ﺗَﻮَﺳَّﻂَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺮْﺗَﺒَﺘَﻴْﻦِ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﺮْ ﻛَﺎﻟْﻤَﺠْﻨُﻮﻥِ ﻓَﻬَﺬَﺍ ﻣَﺤَﻞُّ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮِ ، ﻭَﺍﻟْﺄَﺩِﻟَّﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺪَﻡِ ﻧُﻔُﻮﺫِ ﺃَﻗْﻮَﺍﻟِﻪِ
“Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memeliki risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. Pertama, adanya dasar-dasar kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. Dan dalam konteks ini tidak ada persoalan sama sekali. Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. Dan dalam konteks ini tidak ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memeliki konsekwensi apa-apa. Ketiga, orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama dan kedua. Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi ( mahall an-nazhar ). Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar , Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 10, h. 488)
Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga, yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak, maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. Artinya dalam pandangan mereka kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh. Sebab, ia tidak seperti orang gila.
ﺍَﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ : ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐُ ﻭَﺳَﻄًﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﺤَﺎﻟَﺘَﻴْﻦِ ﺑِﺄَﻥْ ﻳَﺸَﺘَﺪَّ ﻭَﻳُﺨْﺮِﺝُ ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺩَﺗِﻪِ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻛَﺎﻟْﻤَﺠْﻨُﻮﻥِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺼِﺪُ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻭَﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻘِﺴْﻢَ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚَ ﻳَﻘَﻊُ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻄَّﻠَﺎﻕُ
“Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. Menurut mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah , Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )
Hasil verifikasi atau tahqiq yang dilakukan para ulama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang mengakibatkan seseorang keluar dari karakter dan kebiasannya, dimana igauan mendominasi perkataan dan tindak lakunya adalah ini tidak jatuh, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan.
Alasan yang dikemukakan mereka adalah, bahwa ia dalam keadaan mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang kehendaki atau dimaksudkan tidak didasarkan pada pemahaman yang sahih. Jadi, ia seperti orang gila.
ﻭَﺍﻟﺘَّﺤْﻘِﻴﻖُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﺤَﻨَﻔِﻴَّﺔِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻐَﻀْﺒَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻪُ ﻏَﻀَﺒُﻪُ ﻋَﻦْ ﻃَﺒِﻴﻌَﺘِﻪِ ﻭَﻋَﺎﺩَﺗِﻪِ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﻐْﻠُﺐُ ﺍﻟْﻬَﺬَﻳَﺎﻥُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻗْﻮَﺍﻟِﻪِ ﻭَﺃَﻓْﻌَﺎﻟِﻪِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻃَﻠَﺎﻗَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻘَﻊُ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻭَﻳَﻘْﺼِﺪُﻩُ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺣَﺎﻟَﺔٍ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺇِﺩْﺭَﺍﻛُﻪُ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻗَﺼْﺪُﻩُ ﻣَﺒْﻨِﻴًّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺇِﺩْﺭَﺍﻙٍ ﺻَﺤِﻴﺢٍ ﻓَﻴَﻜُﻮﻥُ ﻛَﺎﻟْﻤَﺠْﻨُﻮﻥِ
“Hasil verifikasi kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang menyebabkan seseorang keluar dari tabiat dan kebiasaannya, dimana igauan menguasai perkataan dan perbuatannya, maka talaknya tidak jatuh meskipun ia mengetahui apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Sebab, ia berada dalam kondisi mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang dikehendaki itu tidak didasarkan atas pemahaman yang sahih sehingga ia menjadi seperti orang gila” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah , Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 144 )
Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah bahwa talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah sehingga hilang kesadarannya adalah tidak jatuh atau tidak sah.
Begitu juga talak tidak sah ketika kemarahan itu sampai membuat seseorang keluar dari tabiat dan kebiasannya, meskipun ia menyadari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan. Dalam ini tentunya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama, yang menyatakan tetap jatuh atau sah talaknya.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dimengerti dengan baik. Bagi para suami agar selalu mengontrol kemarahannya, dan bagi para isteri agar tidak perlu memancing kemarahan suami. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan

TALAK

Talak Tiga Karena Emosi, Lalu Ingin Rujuk Lagi
Kategori:Hukum Keluarga & Waris
Bagaimana hukumnya dalam islam jika seorang suami telah memberikan talak 3 kepada istrinya dan kemudian ingin rujuk kembali dengan istrinya dengan alasan khilaf. Dan pada waktu mengucapkan talak 3 kepada istrinya tidak ada saksi yang mendengar dan suami pada saat itu dalam keadaan emosi/marah. mohon jawabannya dan terimakasih atas informasi yang diberikan.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dalam konteks hukum Islam pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI , perceraian karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut
Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan .
Melihat dari pertanyaan yang Anda sampaikan, kami berasumsi bahwa penjatuhan talak tiga oleh suami kepada istrinya tersebut dilakukan di luar pengadilan agama.
Pasal 129 KHI berbunyi :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.
Jika talak diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.
Sebelum menjelaskan mengenai talak tiga, terlebih dahulu kami akan menjelaskan sedikit tentang talak satu dan dua. Sayuti Thalib dalam bukunya
Hukum Kekeluargaan Indonesia mengatakan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 mengatur hal talak dengan menjelaskan bahwa talak hanya sampai dua kali diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara kedua bekas suami isteri itu (hal 100).
Apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu. Penjelasan lebih lanjut mengenai talak satu dan dua dapat Anda simak dalam artikel
Cerai Karena Gugatan dan Cerai Karena Talak.
Selanjutya kami akan menjelaskan mengenai talak tiga . Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230 , kalau seorang suami telah menjatuhkan talak yang ketiga kepada isterinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk mengawininya sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain . Maksudnya ialah kalau sudah talak tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali antara pasangan suami isteri pertama. Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan. Maksudnya ialah si isteri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya itu sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan. Laki-laki lain itulah yang bernama muhallil. Kalau pasangan suami isteri ini bercerai pula, maka barulah pasangan suami isteri semula dapat kawin kembali ( ibid hal. 101-102).
Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI :
“Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.”
Dalam artikel Masih Bisa Rujuk atau Wajib Kawin Kembali dengan Mantan istri dikatakan bahwa
kawin kembali ialah kedua bekas suami istri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami istri kembali. Sungguh pun demikian dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga.
Jadi, jika suami dalam pertanyaan Anda ingin “rujuk kembali” dengan istri setelah talak tiga dijatuhkan, maka si istri harus menikah dengan seorang muhallil. Setelah menikah dengan muhallil, lalu si istri yang dijatuhkan talak tiga itu cerai ba'da al dukhul dan harus melewati masa iddahnya. Setelah itu, si istri bisa dinikahkan kembali oleh suami pertama yang menjatuhkan talak tiga kepadanya.
Tidak adanya saksi saat suami menjatuhkan talak tiga ke istrinya ini tidak menjadi masalah. Namun, seperti yang kami jelaskan tadi, talak yang dijatuhkan di luar pengadilan agama itu hanya sah secara hukum agama. Jadi sebenarnya walaupun tidak ada saksi saat suami menjatuhkan talak tiga ke istrinya, maka talak itu sudah sah menurut hukum agama Islam.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Referensi:
Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press: Jakarta.